RSS

Arsip Tag: Abu Yusuf

ada kalanya seorang anak lebih jujur dari pada orang dewasa


Sesudah jumatan aku masih duduk di teras mesjid di salah satu kompleks sekolah. Jamaah mesjid sudah sepi, bubar masing-masing dengan kesibukannya.

Seorang nenek tua menawarkan dagangannya, kue traditional. Satu plastik harganya lima ribu rupiah. Aku sebetulnya tidak berminat, tetapi karena kasihan aku beli satu plastik.

Si nenek penjual kue terlihat letih dan duduk di teras mesjid tak jauh dariku. Kulihat masih banyak dagangannya. Tak lama kulihat seorang anak lelaki dari komplek sekolah itu mendatangi si nenek. Aku perkirakan bocah itu baru murid kelas satu atau dua.

Dialognya dengan si nenek jelas terdengar dari tempat aku duduk.

“Berapa harganya Nek?”
“Satu plastik kue Lima ribu, nak”, jawab si nenek.

Anak kecil itu mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari kantongnya dan berkata :

“Saya beli 10 plastik, ini uangnya, tapi buat Nenek aja kuenya kan bisa dijual lagi.”

Si nenek jelas sekali terlihat berbinar2 matanya :

“Ya Allah terima ksh bnyk Nak. Alhamdulillah ya Allah kabulkan doa saya utk beli obat cucu yg lagi sakit.” Si nenek langsung jalan.

Refleks aku panggil anak lelaki itu.

“Siapa namamu ? Kelas berapa?”
“Nama saya Radit, kelas 2, pak”, jawabnya sopan.
“Uang jajan kamu sehari lima puluh ribu?’”

” Oh .. tidak Pak, saya dikasih uang jajan sama papa sepuluh ribu sehari. Tapi saya tidak pernah jajan, karena saya juga bawa bekal makanan dari rumah.”
“Jadi yang kamu kasih ke nenek tadi tabungan uang jajan kamu sejak hari senin?”, tanyaku semakin tertarik.

“Betul Pak, jadi setiap jumat saya bisa sedekah Lima puluh ribu rupiah. Dan sesudah itu saya selalu berdoa agar Allah berikan pahalanya untuk ibu saya yang sudah meninggal. Saya pernah mendengar ceramah ada seorang ibu yang Allah ampuni dan selamatkan dari api neraka karena anaknya bersedekah sepotong roti, Pak”, anak SD itu berbicara dengan fasihnya.

Aku pegang bahu anak itu :

” Sejak kapan ibumu meninggal, Radit?”
“Ketika saya masih TK, pak”

Tak terasa air mataku menetes :

“Hatimu jauh lebih mulia dari aku Radit, ini aku ganti uang kamu yg Lima puluh ribu tadi ya…”, kataku sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan ke tangannya.

Tapi dengan sopan Radit menolaknya dan berkata :

“Terima kasih banyak, Pak… Tapi untuk keperluan bapak aja, saya masih anak kecil tidak punya tanggungan… Tapi bapa punya keluarga…. Saya pamit balik ke kelas Pak”.

Radit menyalami tanganku dan menciumnya.

“Allah menjagamu, nak ..”, jawabku lirih.

Aku pun beranjak pergi, tidak jauh dari situ kulihat si nenek penjual kue ada di sebuah apotik. Bergegas aku kesana, kulihat si nenek akan membayar obat yang dibelinya.

Aku bertanya kepada kasir berapa harga obatnya. Kasir menjawab : ” Empat puluh ribu rupiah..”

Aku serahkan uang yang ditolak anak tadi ke kasir : ” Ini saya yang bayar… Kembaliannya berikan kepada si nenek ini..”

“Ya Allah.. Pak…”

Belum sempat si nenek berterima kasih, aku sudah bergegas meninggalkan apotik… Aku bergegas menuju Pandeglang menyusul teman-teman yang sedang keliling dakwah disana.

Dalam hati aku berdoa semoga Allah terima sedekahku dan ampuni kedua orang tuaku serta putri tercintaku yang sudah pergi mendahuluiku kembali kepada Allah.

Sahabat ada kalanya seorang anak lebih jujur dari pada orang dewasa,ajarkan lah anak2 kita dari dini , tindakan nyata yang bukan teori semata.

Kisah ini dari hamba Alloh.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada 10 Agustus 2016 inci KARYA SANTRI, KISAH INSPIRATIF

 

Tag: , , , , , , , , , , , , , , ,

TAQLID KEPADA ‘ULAMA’


S O A L :

Bolehkah kita percaya kepada ‘ulama’ dan bolehkah kita taqlied kepada mereka ?

J A W A B :

Dua pertanyaan itu, maqshudnya sama saja, yaitu di dalam urusan agama, bolehkah kita berpegang kepada ‘ulama’ dengan tidak ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya ?

Buat menggampangkan soal-jawab di dalam hal yang tersebut itu, perlu kita tahu dahulu arti Ijtihad Ittiba dan Taqlied

Begitu juga perkataan Mujtahid Muttabi’ dan Muqallid

I j t i h a d itu, artinya yang asal, ialah bersungguh-sungguh dan artinya yang dipakai oleh ‘ulama’, ialah bersungguh-sungguh memeriksa dan memaham dalam-dalam akan keterangan dari Qur-an dan Hadiets, hingga buat pertanyaan yang sulit-sulit dan buat kejadian-kejadian yang luar biasa itu, bisa mereka dapat­kan hukumnya dari Qur-an atau Hadiets atas jalan faham dengan susah payah atau jalan qias.

Orang bekerja semacam yang tersebut itu, dinamakan M u j t a h i d .

Orang yang jadi Mujtahid itu, tentulah perlu mengetahui bahasa ‘Arab sekedar cukup buat mengerti keterangan-keterangan itu dengan jelas, sebagaimana ia mengerti bahasanya sendiri, kalau ia bukan orang ‘Arab.

Ijtihad itu, perlu sangat di dalam hal keduniaan, yaitu umpamanya ada satu kejadian yang baru, sedang di Qur-an atau di Hadiets tidak tersebut terang hukumnya tentang hal itu, maka di waqtu itu, perlu hakim, atau ketua Islam, ber’ijtihad dan diqiaskan hal itu dengan hukum-hukum Islam yang sudah ada tersebut terang di Qur-an atau Hadiets, dengan beberapa sebab, yaitu sebagai zakat dari barang-barang makanan keluaran bumi umpamanya.

Di dalam Islam ada tersebut, wajib kita keluarkan zakat dari gandum, dan zakat itu buat orang-orang miskin dan urusan umum dan lainnya. Tetapi sekarang di sini tidak ada gandum, hanya ada padi, sedang orang-orang miskin dan keperluan umum tetap ada.

Maka di sini baru boleh diqiaskan, 1) karena ada keperluan dan ada jalan dan sebab buat diqiaskan.

Di negeri ‘Arab dikeluarkan zakat dari makanan negeri yang umum, yaitu gandum, lantas diberikan kepada orang miskin, maka di sini juga diambil zakat dari makanan negeri yang umum, yaitu beras atau sagu atau lainnya, lantas diberikan kepada orang miskin.

Maka qias itu berlaku atas padi atau beras atau sagu tadi, ialah karena barang-barang itu jadi makanan umum di sini, sebagaimana gandum jadi makanan umum di sana.

Orang yang Mujtahid, memang dipuji oleh Agama, bahkan boleh dibilang diwajibkan ijtihad atas orang yang bisa.

I t t i b a’ itu artinya yang asal, ialah menurut, dan artinya yang dipakai oleh ‘ulama’-‘ulama’, yaitu menurut apa-apa perintah, larangan dan perbuatan Rasul dan perbuatan shahabat­ shahabatnya, maupun ia dapat perintah-perintah, larangan-larangan dan perbuatan-perbuatan itu dari membaca sendiri, ataupun ia dapat karena bertanya kepada ‘ulama”ulama’ bttkan bertanya fikiran ‘ulama’-‘ulama’.

Orang yang menurut seperti yang tersebut itu, dinamakan M u t t a b i ‘ .

Muttabi’ itu, tidak perlu tahu bahasa ‘Arab karena keperluannya hanya untuk mengerti sesuatu hukum yang biasa buat ber’amal, bukan untuk memeriksa dalam-dalam buat qias-meng­qias, memberi fatwa dan sebagainya.

Kewajiban ummat Islam di dalam hal berpegang kepada Agama itu, hanya atas dua jalan, yaitu ber-ijtihad atau ber-ittiba’, tidak lain.

Di antara shahabat-shahabat Nabi tidak berapa banyak Mujtahid, tetapi selain dari Mujtahid itu, semuanya Muttabi’. tidak ada seorangpun shahabat Nabi yang Muqallid, karena, kalau mereka tidak tau sesuatu hukum lantas mereka bertanya kepada Nabi sendiri atau kepada shahabat-shahabat Nabi bagaimana pe­rintah Nabi diperkara itu. 2).

Orang yang ittiba’ itu kalau berjumpa dua keterangan yang berlawanan, maka pada masa itu, wajib ia periksa betul-betul mana yang quat.

Umpamanya ada orang berkata, bahwa ada Hadiets menga. takan membaca Al-Fatihah di belakang ‘imam itu wajib dan ada lain orang ‘alim pula berkata, bahwa ada Hadiets mengatakan tidak boleh membaca Al-Fatihah di belakang imam, maka pada masa itu, si Muttabi’ wajib memeriksa mana yang lebih quat. keterangannya, karena di antara dua Hadiets itu, tentu ada yang lemah.

Jangan ia berkata : Saya tak bisa periksa, karena saya bukan orang ‘alim.

Kalau mau, semua bisa !

Ingatlah, bahwa kalau ada tersiar khabaran tentang terbit uang palsu, maka pada masa itu, masing-masing yang mempunyai uang memeriksa dengan sungguh-sungguh hingga bisa ia kenal antara yang palsu dengan yang tidak palsu.

Mengapakah tidak ia berkata : Saya tak tau memeriksa uang palsu, karena saya bukan orang bank ?

Mengapakah diperkara akhirat saja orang-orang suka berkata : Saya tak bisa ?

T a q l i e d , artinya yang ashal, ialah meniru ; dan artinya yang digunakan oleh ahli Agama, yaitu menurut perkataan atau perbuatan seseorang di dalam hal Agama dengan tidak mengetahui keterangan dari Qur-an atau Hadiets ditentang itu. Orang, yang menurut orang lain seperti yang tersebut itu, dinamakan M u q a l l i d .

Taqlied itu, dilarang oleh Agama.

Firman Allah :

Artinya : Janganlah engkau turut apa yang engkau tidak tau.
(Q. Bani Israil, 36).
dan firman Allah :

Artinya : Tanyalah kepada ahli Qur-an, kalau kamu tidak tau.
(Q. An-Nahl, 43).

Bertanya kepada ahli Qur-an itu, tentulah dari hal Qur-an bukan darihal fikirannya.

Bukan Allah saja melarang orang-orang bertaqlied, tetapi imam-imam yang mereka taqliedi itu sendiri, melarang keras orang-orang bertaqlied kepada mereka.

Imam Hanafi melarang orang bertaqlied kepadanya. Begitu juga shahabatnya yang bernama Abu Yusuf. Begitu juga imam-mam Maliki, Syafi’ie dan teristimewa pula imam Hanbali, ia berkata „Janganlah kamu taqlied kepadaku, dan jangan kepada Malik dan jangan kepada Syafi’ie, tetapi ambillah Agama kamu darimana mereka itu ambil”.

Heran kita memikirkan orang-orang kita sekarang ! Mereka mengaku bertaqlied kepada imam-imam, padahal Allah, RasulNya dan imam-imam yang mereka taqliedi sendiri, melarang mereka bertaqlied.

Kalau kita tidak mau turut Allah dan Rasul, dan tidak mau turut perkataan imam-imam yang setuju dengan perkataan Allah dan Rasul, patutkah kita bergelar orang Islam ?

Orang-orang kita di sini, mengaku menurut imam Syafi’ie maka cobalah mereka dan guru-guru mereka yang ‘alim unjukkan satu perkataan imam Syafi’ie tentang membenarkan orang bertaqlied. Tukang-tukang taqlied yang sudah kehabisan alasan, sering berkata, bahwa kami tidak bisa faham Qur-an dan Hadiets, lantaran payahnya : Oleh sebab itu, kami turut-turut imam-imam saja. Perkataan itu dusta belaka. Sebenarnya Qur-an dan Hadiets tidak lebih payah daripada kitab imam-imam, bahkan Qur-an dan Hadiets bisa difaham dengan lebih gampang, karena ada banyak penerangan-penerangannya yang dibikin oleh orang-orang dahulu. Dengan sedikit keterangan itu saja, bisalah difaham, bahwa orang Islam yang bisa Ijtihad itu, wajib Ijtihad, kalau perlu ; dan yang lain-lain daripada itu, wajib Ittiba’. Adapun taqlied itu tidak halal sama sekali.

A.H.

1). „Diqiaskan” di sini boleh dima’nakan „dimasukkan”, karena dalam Hadiets riwayat Bukharie dan Muslim ada mengeluarkan „makanan” sedang kata­kata „makanan” itu umum.

2). Tetapi tidak pernah mereka bertanya apa fikiran orang diperkara itu.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 10 April 2010 inci KARYA SANTRI

 

Tag: , , , , , , ,

 
KARYA SANTRI PESANTREN PERSIS

SETIAP SANTRI PASTI PUNYA KELEBIHAN MASING-MASING KENAPA TIDAK DIRESPON

Another Sa'ad Blog

Tempatku Melepas Penat ...

SDN KRUCIL 1

Desa Krucil - Kec. Krucil - Kab. Probolinggo Kode Pos: 67288

Blog of Isa Ismet Khumaedi

Menjadi pribadi yang bermanfaat.

Dakwah Islam Channel

Media Belajar Ummat

latape2003

Just another WordPress.com site

Faisal Amri

Coretan Santri Grabag

Teguh Prawiro Laonda

Seorang Pencari Ilmu, Pencatat Ilmu, Peng"Copas" Ilmu, Penjaga Ilmu dan Seorang Pembagi Ilmu